Radar Bojonegoro
Kisah Warga Dusun Sugihan Yang Jadi Korban Banjir Bandang
Tujuh Kali Setahun, tanpa Solusi Kecuali Mengungsi
Banjir bandang dari Sungai Soko yang menerjang Dusun Sugihan, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, seperti jadi tradisi. Meski demikian, hingga kini belum ada solusi.
TONNY ADE IRAWAN-Bojonegoro
—————————————-
Matahari baru terlihat sebagian dan berwarna kemerahan saat beberapa orang berkumpul di dekat sebuah jembatan. Mereka tampak berbincang serius. Sesekali, salah satu di antara mereka menunjuk sebuah tempat di sekitarnya.
Tak jauh dari tempat itu beberapa orang membersihkan jalan beraspal. Mereka menggunakan sekop dan peralatan lain seadanya. Tak jarang tubuh mereka tepercik air kental kecokelatan, yang dibersihkannya. Meski demikian, mereka terus saja bersih-bersih.
Begitulah sekilas pemandangan di Dusun Sugihan, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, kemrin (21/11) pagi. Malam sebelumnya (Kamis malam) sebagian dusun yang dilingkari Kali Soko (yang bermuara di Waduk Pacal) itu diterjang banjir bandang setelah sebelumnya hujan deras tiga jam lebih.
”Ini sudah tujuh kali dalam setahun ini, dan akan terus begini,” kata Kepala Desa Kedungsumber Didik Saputro saat menemui wartawan koran ini kemarin pagi.
Namun, menurut dia banjir bandang paling besar selama ini terjadi pada Maret lalu. Tepatnya, beberapa jam setelah pemilihan kepala desa setempat yang dia menangi.
Karena seringnya menerjang, banjir bandang akhirnya menjadi momok bagi warga Sugihan. Sebab, sampai saat ini belum ada jalan keluar untuk mengatasinya, kecuali mengungsi.
”Ada memang sirine (dari early warning system yang dipasang Jasa Tirta I Malang, Red), tapi kan hanya untuk memperingatkan, tidak untuk mengatasi,” katanya.
Karena itu, dia berharap pemerintah segera mencarikan jalan keluar dari masalah tersebut. Kasihan warga jika dibiarkan selalu dicekam ketakutan saat hujan deras. ”Kata orang tua saya sejak tahun 1960 tak pernah ada banjir bandang. Namun, beberapa tahun ini justru meningkat,” ujarnya.
Yoyok, 45, warga setempat, menambahkan, air yang datang akibat guyuran hujan cukup banyak, sehingga Sungai Soko yang bermuara di Waduk Pacal tak mampu menampung. Akibatnya, air menerjang daerah sekitar sungai yang lebih rendah, termasuk perumahan warga. ”Tapi beberapa tahun ini terus melebar, bukan hanya rumah pinggir kali saja (yang jadi korban),” katanya.
Dia menuturkan, dulu ada lembah di antara dua gunung yang direncanakan pemerintah kolonial Belanda untuk bendungan kecil. Namun, bendungan yang belum jadi ini dimanfaatkan penduduk untuk pegairan sawah dan hanya ditutup kayu.
”Namun, akibat banjir Maret lalu (bendungan, Red) jebol dan airnya meluber dengan deras menuju Waduk Pacal dan melewati pedusunan,” imbuhnya. (*)
Kisah Warga Dusun Sugihan Yang Jadi Korban Banjir Bandang
Tujuh Kali Setahun, tanpa Solusi Kecuali Mengungsi
Banjir bandang dari Sungai Soko yang menerjang Dusun Sugihan, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, seperti jadi tradisi. Meski demikian, hingga kini belum ada solusi.
TONNY ADE IRAWAN-Bojonegoro
—————————————-
Matahari baru terlihat sebagian dan berwarna kemerahan saat beberapa orang berkumpul di dekat sebuah jembatan. Mereka tampak berbincang serius. Sesekali, salah satu di antara mereka menunjuk sebuah tempat di sekitarnya.
Tak jauh dari tempat itu beberapa orang membersihkan jalan beraspal. Mereka menggunakan sekop dan peralatan lain seadanya. Tak jarang tubuh mereka tepercik air kental kecokelatan, yang dibersihkannya. Meski demikian, mereka terus saja bersih-bersih.
Begitulah sekilas pemandangan di Dusun Sugihan, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, kemrin (21/11) pagi. Malam sebelumnya (Kamis malam) sebagian dusun yang dilingkari Kali Soko (yang bermuara di Waduk Pacal) itu diterjang banjir bandang setelah sebelumnya hujan deras tiga jam lebih.
”Ini sudah tujuh kali dalam setahun ini, dan akan terus begini,” kata Kepala Desa Kedungsumber Didik Saputro saat menemui wartawan koran ini kemarin pagi.
Namun, menurut dia banjir bandang paling besar selama ini terjadi pada Maret lalu. Tepatnya, beberapa jam setelah pemilihan kepala desa setempat yang dia menangi.
Karena seringnya menerjang, banjir bandang akhirnya menjadi momok bagi warga Sugihan. Sebab, sampai saat ini belum ada jalan keluar untuk mengatasinya, kecuali mengungsi.
”Ada memang sirine (dari early warning system yang dipasang Jasa Tirta I Malang, Red), tapi kan hanya untuk memperingatkan, tidak untuk mengatasi,” katanya.
Karena itu, dia berharap pemerintah segera mencarikan jalan keluar dari masalah tersebut. Kasihan warga jika dibiarkan selalu dicekam ketakutan saat hujan deras. ”Kata orang tua saya sejak tahun 1960 tak pernah ada banjir bandang. Namun, beberapa tahun ini justru meningkat,” ujarnya.
Yoyok, 45, warga setempat, menambahkan, air yang datang akibat guyuran hujan cukup banyak, sehingga Sungai Soko yang bermuara di Waduk Pacal tak mampu menampung. Akibatnya, air menerjang daerah sekitar sungai yang lebih rendah, termasuk perumahan warga. ”Tapi beberapa tahun ini terus melebar, bukan hanya rumah pinggir kali saja (yang jadi korban),” katanya.
Dia menuturkan, dulu ada lembah di antara dua gunung yang direncanakan pemerintah kolonial Belanda untuk bendungan kecil. Namun, bendungan yang belum jadi ini dimanfaatkan penduduk untuk pegairan sawah dan hanya ditutup kayu.
”Namun, akibat banjir Maret lalu (bendungan, Red) jebol dan airnya meluber dengan deras menuju Waduk Pacal dan melewati pedusunan,” imbuhnya. (*)
23
Nov
No comments:
Post a Comment