[Radar Bojonegoro Kamis, 26 Juni 2008 ]
Melihat Pergelaran Seni Langka Sandur Kalongking
Padukan Magis dan Akrobatik
Salah satu kesenian tradisional yang meski langka tapi masih ada di Bojonegoro
adalah sandur kalongking. Selasa (24/6) malam lalu kesenian ini dipentaskan di
Kelurahan Jetak, Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro.
TONNY ADE IRAWAN, Bojonegoro
----------
Sekelompok orang mengenakan udeng (ikat kepala) duduk sambil asyik bernyanyi
diiringi dua alat musik yang bersahut-sahutan. Tempat mereka duduk dibatasi
dengan tali rafia. Di tiap-tiap jarak tertentu pada tali rafia itu terdapat
jajan pasar yang diikatkan.
Kegiatan itu dipimpin seorang kakek. Di depan tempat sang kakek duduk terlihat
sesaji. Isinya, antara lain jajan pasar, kemenyan yang sudah dibakar, serta
bunga yang direndam di dalam panci berisi air.
Saat nyanyian mencapai puncak, seorang lelaki yang duduk di deretan terdepan
tiba-tiba menggelepar-gelepar. Beberapa orang kemudian menghampiri dan
memegangi tubuh temannya itu. Kakek yang memimpin menyayi juga bangkit. Sambil
membawa pecut (cambuk), dia kemudian mengambil jaran kepang (kuda lumping) dan
menyerahkannya kepada orang yang menggelepar itu.
Seakan disuruh, lelaki yang menggelepar kemudian menaiki kuda dari anyaman
bambu itu. Dia kemudian dituntun untuk memakan kembang yang telah direndam air
dalam panci.
Begitulah bagian awal dari pertunjukan seni sandur kalongking yang
dipertontonkan di halaman Gedung Perak, Kelurahan Jetak, Kecamatan/Kabupaten
Bojonegoro, Selasa (24/6) malam lalu.
''Kalau seperti itu (menggelepar kemudian makan kembang, Red) berarti sudah
kesurupan, dan orang yang sudah kerasukan itu biasa disebut sulur pandan yang
fungsinya menjaga keamanan (dari gangguan makhluk halus, Red) selama
berlangsungnya pertunjukan,'' kata Masnun, kordonator pertunjukan malam itu.
Menurut Masnun, sandur memang seperti drama, tapi berbau magis.
Menurut dia, pemeran utama dalam drama itu hanya empat orang. Yakni, tokoh
utama disebut Pethak, pemeran lelucon Tamsil, tokoh penyeimbang Balong, dan
satu tokoh wanita yang berperan sebagai sindir biasa disebut Cawik.
Masnun menerangkan, kisah dalam drama itu sangat panjang. Mulai dari saat
Pethak mencari kerja, panen, rabi (kawin), dan setersunya. ''Namun, malam ini
dibatasi hanya Pethak cari kerja,'' katanya.
Di akhir cerita, ada pertunjukan kalongking. Menurut Masnun, pertunjukan ini
menceritakan saat Pethak berburu kalong (kelelawar besar) di atas pohon,
bersama teman-temannya. Kalong dalam drama ini diperankan seseorang yang bisa
berjalan, tidur, ngitir (berputar) di atas tali.
''Semua dilakukan di atas ketinggian lebih dari delapan meter,'' tegasnya.
Yang tak kalah menarik dalam seni sandur kalongking menurut Masnun adalah
suasana magisnya. Di antaranya, ada orang yang kesurupan.
''Memang dulunya ini adalah mainan anak yang diadopsi menjadi pertunjukan orang
dewasa,'' katanya.
Hanya, seni tradisional itu kini sudah langka. Pemainnya juga minim. Warisno,
50, saat ini merupakan satu-satunya pemeran kalong yang belum ada penggantinya.
''Anak muda sekarang hati dan pikirannya tidak mantep,'' kata Warisno di
sela-sela pertujukkan tersebut.
Karena tidak mantep itulah, lanjut dia, tidak ada anak muda yang berani
menggantikan perannya sebagai kalong di pertujukan tersebut.
Dia menambahkan, selama ini kelompoknya tak pernah latihan rutin. Latihan hanya
dilakukan sekali sebelum ada pertunjukan. ''Namun, kebanyakan tidak pernah
latihan,'' ujarnya.
Menurut dia, dulu sering sekali orang nanggap sandur. Misalnya, saat punya
hajat atau saat panen. Namun, sekarang jarang sekali ada orang nanggap.
Padahal, biaya nanggap sandur hanya Rp 2 juta sampai Rp 5 juta. ''Terakhir
ditanggap ya sekitar setahun lalu saat acara valentine,'' tuturnya.
Dia mengaku dua tahun lalu tampil saat ditanggap Dinas Pariwisata Provinsi
Jatim. Saat itu dia dan kru sandur hanya dibayar Rp 50 ribu. ''Padahal
taruhanya nyawa saya,'' katanya. (*)